Aku yang menurutmu perhatian, mengasyikan, punya banyak waktu, kalau di hatimu bukan siapa-siapa!
Apa hebatnya?
Sedangkan dia, yang menurutmu kurang perhatian, membosankan, hampir tak punya waktu, tapi kalau di hatimu adalah segala-galanya. Berarti dia juaranya!
Jika kamu mobil maka aku ini tak ubahnya bengkel. Kau menemuiku hanya ketika ingin memperbaiki kondisimu yang jengkel. Di saat dilanda kecewa, kamu kepadaku membawa urai air mata.
Dan entah kenapa aku justru bangga, kemudian berusaha sebisaku sehinga matamu kembali berbinar, sampai senyummu kupastikan kembali melebar.
Sementara dia! Dia bagaikan garasi, tempatmu kembali, mengistirahatkan diri dari malam hingga pagi. Kepadaku, seberapapun lamanya kamu mampir, aku sadar itu hanya parkir, bukan sebuah pemberhentian terakhir.
Untuk bibirmu, aku berupaya segala cara supaya selalu tersungging senyuman disana, iya sebatas itu tugasku. Sementara untuk mengecupnya, aku tak punya hak apa-apa, itu tugas dia.
Iya, selalu begitu.
Kamu datang kepadaku membawa kecewa karenanya. Lalu kembali kepadanya membawa bahagia karenaku. Selalu begitu, terus terulang, sudah tak terbilang.
Kamu bodoh, terus bertahan dengan dia yang tak perhatian. Masih memilih dia yang katamu membosankan! Atau sebenarnya aku sendirilah
yang bodoh, terus menyambutmu meski ini tidak ada bedanya dengan pelarian?!
Aku bingung aku ini mengalah, atau sebenarnya memang kalah? Tapi terserahlah! Memikirkannya aku sudah sangat lelah. Kujalani saja meskipun mungkin ini salah. Jujur setiap melihatnya memandangimu yang cantik, dalam diam yang geram aku kerap berdoa licik, semoga dia lebih sering memperlakukanmu tidak baik. Agar kamu lebih sering kecewa. Agar aku dan kamu lebih sering bersama.