Kira-kira pukul 11.00 malam, saya dan teman saya bernama Erik sedang dalam perjalanan ke rumah. Sayangnya saya harus terlambat tiba di rumah karena ada peristiwa tabrakan. Korban yang ditabrak tidak luka parah, tetapi yang menabrak malah luka parah, darah sampai mengucur dari bibirnya. Erik memutuskan untuk berhenti kemudian mengecek kondisi korban yang mengalami luka-luka.
Herannya meskipun korban dalamkeadaan kritis, orang-orang di lokasi kecelakaan tidak ada yang mau menolong. Hanya melihat korban dengan iba. Karena tak tega melihat korban yang kritis dan jengkel dengan orang-orang yang tak kunjung memberi pertolongan, Erik segera memarkir motornya di tengah jalan, dan berusaha mencari tumpangan bagi korban untuk dibawa ke Rumah Sakit terdekat.
Ada sebuah mobil pick up yang lewat, Erik berusaha memintanya berhenti tetapi mobil itu melaju terus tanpa menghiraukan kami.
Beberapa menit kemudian lewat sebuah taksi. Sekali lagi Erik memintanya berhenti. Untunglah taksi tersebut mau berhenti. Erik cekatan menghampiri korban, dan berusaha menggendongnya, Dia merasa kesulitan menggendong korban, dia butuh bantuan orang lain.
Akhirnya Erik membawa korban ke dalam taksi dengan susah payah dan meminta dua orang wanita untuk menemani korban ke rumah sakit.Kami mengawal taksi tersebut sampai rumah sakit dan menghubungi keluarga korban.
Nah,,dari cerita ini, muncullah sebuah pertanyaan
“Sebegitu mahalnyakah kebaikan sekarang ini?”
Hanya untuk menggendong orang yang sudah kesakitan saja tidak tergerak hatinya, atau setidaknya memberi kabar keluarga korban melalui telpon. mungkin tidak sampai 2000 rupiah. Sedikit merenung, jaman sekarang ini seolah segalanya ternominalkan atau bersyarat. Sadar atau tidak saat kita berbuat kebaikan maka Tuhan akan membalas kebaikan kita, meskipun bukan dalam bentuk yang sama dan dari orang yang sama pula.
Sekarang ini apakah kita pura-pura tak peduli atau memang sengaja menutup mata pada hal-hal kecil yang terjadi di sekitar kita ? Terlebih lagi jika hal tersebut tak berkaitan dengan kepentingan kita. Setiap manusia memang egois, namun ego setiap manusia berbeda-beda. Saya rasa tak ada salahnya jika kita sedikit menurunkan ego untuk belajar berempati terhadap hal-hal yang ada di sekeliling kita.
Jika kebaikan saja telah bersyarat, di manakah letak ketulusan yang seharusnya menjadi dasar nurani manusia untuk dapat saling berbagi dan mengisi dalam banyak hal ?
†ђąηk ўσυ untuk yang bersangkutan